Drama Populer: Senyum Yang Menyembunyikan Rasa Takut



Senyum yang Menyembunyikan Rasa Takut

Dulu, di bawah langit BIRU Kota Yanling yang menjulang tinggi, ada dua jiwa yang tumbuh bersama: Lian, sang pewaris dingin keluarga Zhao, dan Mei, anak jalanan yang diselamatkan Lian dari cengkeraman musim dingin. Mereka seperti dua sisi koin emas, berkilau namun terpisah. Lian dengan senyumnya yang memesona, Mei dengan pandangan matanya yang mengamati. Mereka bersumpah setia, persahabatan yang terukir di hati, janji yang terdengar nyaring di antara deru angin.

"Lian, aku akan selalu melindungimu," bisik Mei, suaranya serak namun penuh ketulusan.

Lian tersenyum. "Aku pun begitu, Mei. Kita adalah saudara, bukan?" Senyumnya BERKILAU, namun Mei merasa ada sesuatu yang aneh di baliknya.

Waktu berlalu. Lian tumbuh menjadi penguasa yang licik, tangannya terampil memegang pedang dan mengatur siasat. Mei, di sisi lain, menjadi bayangannya, mata dan telinga Lian di kegelapan. Mereka menaklukkan musuh, merebut kekuasaan, senyum dan tawa menghiasi wajah mereka. Namun, di balik senyum itu, rasa takut merayap.

Suatu malam, di bawah rembulan yang pucat, Mei mendengar percakapan yang menghancurkan hatinya.

"Kau tahu, Zhao Lian," suara serak seorang lelaki tua bergema, "darah yang mengalir di nadimu adalah darah pengkhianat. Ayahmu yang membunuh ayahku, merebut takhtaku."

Lian terdiam. "Jadi, aku harus membayar dosa ayahku?" Senyumnya MENGGIGIL.

"Kau harus membuktikan kesetiaanmu. Singkirkan Mei. Dia terlalu dekat denganmu. Dia tahu terlalu banyak."

Dunia Mei runtuh. Lian, sahabatnya, saudaranya, dihadapkan pada pilihan yang mengerikan.

Keesokan harinya, Lian memanggil Mei. Mereka berdiri di tepi tebing, angin menderu di sekitar mereka.

"Mei," kata Lian, senyumnya HANCUR. "Kau selalu menjadi saudara bagiku."

"Lalu, kenapa kau memanggilku ke sini, Lian?" tanya Mei, suaranya dingin.

"Aku... aku punya tugas untukmu."

"Tugas?" Mei tertawa sinis. "Tugas untuk dibunuh?"

Lian terdiam. Akhirnya, dia mengangkat pedangnya. "Aku tidak punya pilihan."

Pertempuran dimulai. Dua saudara, dua sahabat, kini menjadi musuh bebuyutan. Pedang beradu, percikan api beterbangan, senyum dan rasa takut bercampur menjadi satu. Di setiap gerakan, setiap tebasan, ada rahasia yang terungkap.

"Kau tahu, Lian," desis Mei, darah mengalir dari lukanya, "aku sudah tahu sejak lama. Aku tahu tentang rahasia keluargamu. Aku tahu bahwa kau adalah bidak dalam permainan yang lebih besar."

Lian terkejut. Bagaimana bisa?

"Aku melindungimu, Lian. Aku selalu melindungimu. Bahkan dari dirimu sendiri."

Lian terpaku. Dia melihat kebenaran di mata Mei. Mei tidak pernah mengkhianatinya. Dia justru melindunginya dari takdir yang kejam.

Dengan raungan yang memilukan, Lian menjatuhkan pedangnya. "Maafkan aku, Mei!"

Mei tersenyum lemah. "Terlambat, Lian."

Dengan sisa tenaganya, Mei mendorong Lian menjauh dari tebing. Dia sendiri terjatuh, tubuhnya menghantam bebatuan di bawah.

Saat tubuh Mei terbaring tak bergerak, Lian berlutut di tepi tebing, air mata mengalir di pipinya. Dia telah kehilangan segalanya. Sahabatnya, saudaranya, hatinya sendiri.

Di saat-saat terakhirnya, Mei membuka matanya. Dia menatap langit biru yang luas. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.

"Kau... akhirnya... bebas..."

Dan dengan bisikan itu, Mei menghembuskan nafas terakhirnya.

Lian berdiri di sana, di tepi tebing, sendirian. Dia telah mendapatkan kekuasaan, namun kehilangan segalanya yang berarti. Kebenaran telah terungkap, namun harga yang harus dibayar terlalu mahal.

Satu kalimat menggantung di benaknya, sebuah pengakuan terakhir sebelum kematian yang sesungguhnya: Aku lebih takut kehilanganmu, daripada kehilangan nyawaku.

You Might Also Like: Agen Kosmetik Passive Income Kota

Post a Comment

Previous Post Next Post