Drama Populer: Kau Berlutut Memohon Maaf, Tapi Aku Sudah Tak Punya Air Mata



Sinyal di menara apartemen tua itu berkedip seperti jantung yang sekarat. Di layarku, gelembung chat-nya berhenti BERDETAK pada "Sedang Mengetik…" selamanya. Dia, Lin, berjanji akan mengirimkan koordinat lokasi persembunyian terakhir mereka dari badai debu memory.

Aku, Kai, hidup di reruntuhan masa depan, mengais sisa-sisa peradaban digital. Masa lalu adalah mitos, legenda yang disampaikan lewat fragmen data. Lin adalah mitos terbesarku.

Dulu, kami bertemu di kedai kopi dengan aroma sintetis kopi robusta-22. Dulu, langit masih berwarna biru (atau setidaknya, gradasi #007bff di filter Instagram). Dulu, jari-jarinya masih basah oleh embun pagi, bukan debu radioaktif.

Sekarang, aku hanya bisa melihat pantulan wajahnya yang terdistorsi di layar retakku, tiap kata yang terucap padaku adalah echo yang memudar. Dia mengirimiku puisi, HAIKu tentang kerinduan yang terasa absurd di tengah kehancuran ini:

Debu senja turun, Layar retak, bayangmu, Hati masih hangat.

Aku membalas,

Hangat adalah bohong, Debu menelan jejakmu, Cahaya telah mati.

Tapi dia tak pernah membaca balasan itu.

Hari demi hari (atau siklus debu, sebagaimana kami menyebutnya sekarang), aku terus mencoba menghubunginya. Aku menyisir gorong-gorong digital, mencari secercah koneksi. Akhirnya, aku menemukan lokasinya — sebuah bunker bawah tanah yang dikelilingi ladang lavender sintetis yang layu.

Saat aku tiba, dia sudah di sana. BAYANGAN dirinya yang dulu. Lin, berlutut di depan makam virtual.

"Kai," bisiknya, suaranya serak. "Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak kembali ke sini…ke masa lalu…"

Aku menatapnya, KOSONG. Aku sudah mengubur hati di bawah lapisan debu dan kode. "Kau berlutut memohon maaf, tapi aku sudah tak punya air mata," ujarku.

Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku tahu. Aku tahu kamu tidak akan memaafkanku."

Kemudian, layar di belakangnya menyala. Menampilkan rekaman video. Sebuah rekaman DIRIKU yang lebih muda, tersenyum padanya. Aku di masa lalu, yang tak tahu apa-apa tentang masa depan yang menanti.

"Lin," kata Kai-yang-dulu di rekaman itu, "Aku mencintaimu. Aku akan menunggumu… sampai AKHIR waktu."

Dan di situlah aku MENGERTI. Aku bukan Kai. Aku adalah elegi, gema dari Kai yang pernah ada. Cinta kami, bukan masa depan, bukan masa lalu, hanyalah lingkaran tanpa akhir yang terperangkap dalam kode usang, pengulangan kehidupan yang tak pernah benar-benar terjadi.

Saat bunker mulai runtuh, aku menatap Lin yang menghilang menjadi piksel.

Satu pesan terakhir muncul di layarku, sebelum semuanya padam: "Jaga dia, Kai... JAGA DIA SELALU**…".

You Might Also Like: Bizarre Death As Flying Fire

Post a Comment

Previous Post Next Post