Aula Emas istana Kekaisaran terasa megah sekaligus mencekam. Pilar-pilar bercat merah menyala menjulang tinggi, diselimuti aroma dupa cendana yang pekat. Di bawah sorot lampu kristal yang gemerlapan, para pejabat istana berdiri kaku, wajah mereka tanpa ekspresi, mata mereka tajam mengamati setiap gerak-gerik. Di balik tirai sutra merah yang berdesir lembut, bisikan pengkhianatan berdengung seperti dengung lebah yang siap menyengat. Istana adalah panggung sandiwara, dan semua orang adalah pemainnya.
Di tengah riuhnya intrik istana, terjalinlah hubungan terlarang antara Pangeran Mahkota, Li Wei, dan Putri Selir, Mei Lin. Li Wei, pewaris takhta yang karismatik namun menyimpan ambisi terpendam. Mei Lin, wanita cantik yang lahir dari keluarga pedagang, dipaksa memasuki istana dan menjadi bidak dalam permainan politik yang kejam.
Cinta mereka tumbuh di tengah ancaman dan rahasia. Pertemuan sembunyi-sembunyi di taman terlarang, surat-surat cinta yang diselundupkan melalui pelayan setia, dan tatapan penuh arti di tengah keramaian pesta istana menjadi santapan sehari-hari mereka. Namun, cinta mereka adalah permainan takhta, dan setiap janji manis bisa menjadi pedang yang siap menusuk dari belakang.
"Aku akan melindungimu, Mei Lin," bisik Li Wei suatu malam di bawah rembulan yang pucat. "Aku akan menjadikanmu Ratu, dan kita akan memerintah bersama."
Mei Lin membalas tatapan Li Wei. "Janji itu indah, Pangeran. Tapi janji di istana ini lebih rapuh dari sayap kupu-kupu."
Waktu berlalu. Intrik istana semakin mengental. Fitnah, pengkhianatan, dan pembunuhan menjadi makanan sehari-hari. Li Wei, yang dibutakan oleh ambisinya, mulai menjauh dari Mei Lin. Ia menggunakan Mei Lin sebagai alat untuk mencapai tujuannya, mengorbankan perasaannya demi kekuasaan.
Mei Lin terluka. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa dikhianati oleh orang yang dicintainya. Namun, di balik wajah cantiknya yang lembut, tersimpan kekuatan yang mengerikan. Ia mulai menyusun rencana balas dendam yang elegan, dingin, dan mematikan.
Bertahun-tahun kemudian, di malam penobatan Li Wei sebagai Kaisar, Mei Lin berdiri di tengah kerumunan, mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia menyaksikan Li Wei naik ke singgasana, wajahnya penuh kemenangan. Saat Li Wei mengangkat cawan emas untuk bersulang, Mei Lin tersenyum tipis. Ia telah menukar anggur di cawan itu dengan racun yang mematikan.
Li Wei tersenyum padanya dari kejauhan, tidak tahu bahwa gelas di tangannya adalah ajal-nya.
Saat Li Wei meneguk anggur, Mei Lin berbisik lirih, "Surga telah membutakanmu, Pangeran. Sekarang, rasakanlah bayangan yang telah kau khianati."
Li Wei jatuh tersungkur. Kekaisaran bergejolak. Dan Mei Lin, dengan senyum misterius di bibirnya, melangkah keluar dari istana, meninggalkan segalanya di belakangnya.
Sejarah baru saja menulis ulang dirinya sendiri, dengan tinta darah dan air mata.
You Might Also Like: Cerpen Seru Senyum Yang Menjadi Akhir