Aku Mati di Tanganmu, dan Terlahir dengan Amarahmu
Hujan bergemuruh di atas Kota Kekaisaran, seperti tangisan para dewa atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Di tengah badai, berdiri tegar Paviliun Anggrek, tempat aku dan Lian bertemu pertama kali. Kami bukan saudara sedarah, tapi darah persahabatan mengalir deras dalam urat nadi kami. Lian, dengan senyumnya yang menawan dan matanya yang setajam elang, adalah matahariku. Aku, Lin, adalah bayangannya yang setia.
"Lin, janji padaku, apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama," bisiknya suatu senja, angin memainkan helaian rambutnya.
"Aku bersumpah, Lian. Sampai akhir hayatku," jawabku, tanpa tahu betapa SUMPAH itu akan menjadi kutukan.
Kami tumbuh bersama, berlatih pedang di bawah bimbingan guru yang sama, berbagi mimpi tentang kejayaan dan kehormatan. Lian selalu selangkah lebih maju, lebih kuat, lebih dicintai. Aku bahagia untuknya, sungguh. Atau begitulah yang aku yakini.
Namun, bayang-bayang mulai merayap. Bisikan-bisikan pengkhianatan memenuhi lorong-lorong istana. Rumor tentang sebuah artefak kuno, Pedang Pemusnah Jiwa, yang konon mampu memberikan kekuasaan tak terbatas, mulai beredar. Lian, yang haus akan kekuatan, mulai berubah. Senyumnya tak lagi tulus, matanya menyimpan RAHASIA.
"Lin, aku membutuhkanmu. Ada tugas penting yang harus kau lakukan," katanya suatu malam, tatapannya dingin.
Aku menurut, buta akan kebenaran yang tersembunyi. Aku mencuri, aku membohongi, aku bahkan membunuh atas namanya. Semua kulakukan demi Lian, demi persahabatan kami.
Kemudian, malam itu tiba. Di kuil terpencil, di bawah cahaya bulan yang pucat, Lian berdiri di hadapanku, Pedang Pemusnah Jiwa di tangannya. Matanya berkilat haus darah.
"Maafkan aku, Lin. Kau hanyalah alat. Kekuatan ini… harus menjadi milikku sendiri."
ALAT. Kata itu mengoyak dadaku lebih dalam dari pedang manapun. Kebohongan, pengkhianatan, semua menghantamku seperti tsunami. Aku terhuyung, tak percaya.
"Kau… kau berbohong padaku?" bisikku, suaraku bergetar.
"Itu perlu, Lin. Aku membutuhkanmu untuk mendapatkan pedang ini. Kau terlalu naif untuk menyadari kebenaran," jawabnya, tanpa sedikit pun penyesalan.
Pedang itu menembus dadaku. Rasa sakitnya membakar, tapi lebih menyakitkan adalah PENGKHIANATAN itu sendiri. Aku menatap matanya, mencari setitik pun rasa bersalah. Tidak ada. Hanya kekosongan.
Saat kegelapan mulai menyelimuti pandanganku, aku bersumpah. AKU BERSUMPAH, di atas napas terakhirku, aku akan membalas dendam. Aku akan merebut semua yang kau miliki, Lian. Aku akan membuatmu merasakan sakit yang kurasakan saat ini.
Aku mati di tangannya, dikhianati oleh sahabatku sendiri.
Tapi kematian bukanlah akhir.
Aku terlahir kembali. Bukan sebagai Lin yang lemah dan naif, tapi sebagai Phoenix yang bangkit dari abu. Aku dilahirkan dengan amarahmu, Lian. Amarah yang akan membakar habis seluruh duniamu.
Bertahun-tahun berlalu. Aku melatih diri, mengasah pedang, menyusun rencana. Aku menjadi bayangan yang lebih gelap dari sebelumnya, hantu yang menghantui setiap langkah Lian. Dia telah menjadi Kaisar, kuat dan berkuasa. Tapi dia tidak tahu bahwa kematiannya sudah dekat.
Akhirnya, tibalah hari pembalasan.
Di tengah pertempuran sengit, kami berhadapan. Matanya memancarkan ketakutan saat melihatku. Dia mengenaliku, meskipun aku telah mengubah nama dan penampilanku.
"Lin… bagaimana mungkin?" bisiknya, terkejut.
"Aku adalah amarahmu, Lian. Aku adalah kutukanmu. Aku adalah… KEMATIANMU!"
Pertarungan kami mengguncang seluruh istana. Pedang beradu, darah muncrat, sumpah serapah mengalir deras. Aku lebih kuat, lebih cepat, lebih BERTEKAD dari sebelumnya. Amarahku adalah senjataku.
Akhirnya, aku berhasil melucutinya. Aku berdiri di atasnya, pedang terhunus di atas lehernya.
"Kenapa, Lian? Kenapa kau mengkhianatiku?" tanyaku, suaraku dingin.
Dia terengah-engah, matanya memohon ampun. "Aku… aku harus melakukannya. Pedang itu… membutuhkan darah keluarga kerajaan untuk diaktifkan. Kau… kau adalah keturunan tersembunyi dari keluarga kerajaan yang telah lama hilang."
KETURUNAN KERAJAAN? Jadi, selama ini aku telah dikhianati bukan hanya oleh sahabatku, tapi juga oleh takdirku sendiri. Kebenaran itu menghantamku seperti petir.
Aku mengayunkan pedang.
Kepalanya menggelinding ke tanah.
Kota Kekaisaran sunyi. Hujan berhenti.
Kemenanganku hampa. Balas dendam tidak membawa kedamaian. Hanya kehampaan.
Aku duduk di atas takhta yang berlumuran darah, seorang diri.
"Aku… aku seharusnya tidak pernah dilahirkan..."
You Might Also Like: Unravel Secrets Of Crime Scene