SERU! Air Mata Yang Menjadi Doa Untuk Musuh



Air Mata yang Menjadi Doa Untuk Musuh

Di balik tirai sutra senja, ketika langit berlumur darah dan jingga, terlukis wajahmu, Xiǎo Yǔ, seperti kabut yang menjelma rupa. Senyummu, ilusi danau di tengah gurun kalbuku, selalu menggoda namun tak pernah tergapai.

Dulu, di Lembah Anggrek yang abadi, di bawah pohon plum yang bunganya luruh bagai salju di musim semi, kita bertemu. Atau, mungkinkah hanya imajinasiku yang bermain, menenun benang-benang mimpi menjadi permadani kenangan yang menyesakkan dada?

Kau, putri mahkota Kerajaan Bulan, terlahir dari cahaya rembulan dan tetesan embun pagi. Aku, seorang ronggeng yang menari di antara bayang-bayang istana, mencuri pandang ke arahmu dari balik pilar-pilar marmer yang dingin. Cintaku padamu, bagai akar pohon maple yang menjalar dalam kegelapan, terlarang, tersembunyi, namun begitu MENDALAM.

Namun, takdir menggariskan jalan yang berbeda. Kerajaan Bulan dan Kerajaan Api terikat dalam dendam abadi. Kau, dijodohkan dengan Pangeran Api, musuh bebuyutanku. Setiap kali mataku menatap matamu yang sayu, rasa sakit itu bagai belati menghunjam jantungku.

Malam itu, malam sebelum pernikahanmu, aku menyelinap ke taman istanamu. Di bawah rembulan yang pucat, kau berdiri, memegang seuntai mutiara air mata. "Kenapa, Xiǎo Yǔ? Kenapa kau memilih api?" bisikku, suara lirihku kalah oleh desau angin.

Kau menoleh, matamu berkaca-kaca. "Bukan aku yang memilih, Āh Lì. Ini adalah takdir. Untuk menyelamatkan kerajaanku."

Aku mendekat, meraih tanganmu yang dingin. "Tapi, bagaimana dengan hatimu?"

Kau hanya tersenyum getir. "Hatiku… sudah lama menjadi abu."

Malam itu, aku menari untukmu, menari dengan air mata yang mengalir deras, menari dengan segenap kepedihan dan cinta yang tak terucapkan. Setiap gerakan, setiap putaran, adalah doa. Doa untuk kebahagiaanmu, doa untuk keselamatanmu, bahkan… doa untuk MUSUHMU.

Bertahun-tahun berlalu. Kerajaan Api dan Kerajaan Bulan bersatu. Kau menjadi ratu yang bijaksana dan dicintai. Aku, menghilang dalam kabut waktu, menjadi legenda yang terlupakan.

Suatu hari, aku kembali ke Lembah Anggrek. Pohon plum itu masih berdiri kokoh, bunganya bertebaran di atas tanah. Di sana, di bawah pohon itu, aku menemukan sebuah lukisan. Lukisan diriku, menari di bawah rembulan, dengan air mata yang mengalir di pipi. Di belakang lukisan itu, tertulis sebuah pesan dengan tinta emas:

"Āh Lì, air matamu adalah hujan yang menyuburkan jiwaku. Aku tidak pernah melupakanmu. Dan kau tahu...Pangeran Api itu sebenarnya adalah… ayahku yang menyamar."

DEGGG!

Misteri terpecahkan. Tapi keindahan cinta kita, yang mungkin hanya ilusi, justru membuat luka ini… SEMANGKIN MENDALAM.

Apakah kau masih ingat tarian itu, Āh Lì…?

You Might Also Like: Alasan Sunscreen Mineral Lokal Tanpa

Post a Comment

Previous Post Next Post