Aroma Osmanthus menyeruak di udara, membawa serta debu kenangan dari seratus tahun lalu. Aku, Li Mei, merasakan sesuatu berdenyut di nadiku, getaran familiar yang tak bisa kubantah. Dulu, di kehidupan yang kabur dan berlumur darah, aku adalah Putri Lian, terikat janji dengan seorang jenderal bernama Zhang Wei. Janji yang dikhianati, janji yang mengantar kami berdua menuju maut.
Sekarang, aku berdiri di gerbang Universitas Qinghua, jantungku berdebar tak karuan. Di sana, berdiri seorang pria. Tinggi, tegap, dengan mata setajam elang. Dia.
"Zhang Wei?" bisikku tanpa sadar.
Pria itu, yang ternyata bernama Wei Kang, menoleh. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya. "Maaf? Apa Anda memanggil saya?"
Aku menggeleng, berusaha menenangkan diri. Tidak mungkin. Reinkarnasi hanyalah dongeng. Tapi, mengapa hatiku bergejolak setiap kali mata kami bertemu? Mengapa suara Wei Kang terasa begitu familiar, seperti melodi yang pernah menghantui mimpiku?
Perlahan, sedikit demi sedikit, potongan-potongan puzzle masa lalu mulai bermunculan. Mimpi-mimpi aneh, kilasan adegan peperangan, dan lagu pengantar tidur yang selalu dilantunkan Ibuku, semuanya mengarah ke satu titik: kami pernah terhubung. Terikat takdir yang kejam.
Wei Kang juga merasakannya. Dia mulai mencari tahu, membaca buku-buku sejarah kuno, dan bertanya pada para tetua di desanya. Semakin dalam kami menggali, semakin jelas gambaran masa lalu kami. Aku, Putri Lian, yang dijanjikan pada Kaisar, namun mencintai Jenderal Zhang Wei. Dia, Jenderal Zhang Wei, yang dituduh berkhianat dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya.
DOSA. Sebuah dosa besar yang membayangi kami selama seratus tahun.
Suatu malam, di bawah cahaya bulan yang pucat, Wei Kang menceritakan semuanya padaku. Bagaimana Kaisar, yang terobsesi padaku, menjebak Zhang Wei. Bagaimana aku, karena putus asa, bunuh diri di depan jasad Zhang Wei. Janji yang kami buat di akhir hayat, sebuah sumpah untuk bertemu kembali dan membalas dendam.
"Aku akan menghancurkan keturunan Kaisar," desis Wei Kang, matanya berkilat marah.
Aku menggeleng. "Tidak, Wei Kang. Balas dendam tidak akan membawa kita kemana-mana. Itu hanya akan mengulangi siklus kebencian."
Dia menatapku, bingung. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
Aku memegang tangannya, merasakan kehangatan yang menenangkan. "Kita akan memaafkan. KEHENINGAN kita, pengampunan kita, akan menjadi hukuman terberat bagi mereka."
Aku tahu, kata-kataku mungkin terdengar lemah, bahkan pengecut. Tapi, aku percaya, membenci hanya akan memperpanjang rantai takdir yang mengikat kami. Bebaskan dirimu, bebaskan aku. Bebaskan kami berdua.
Wei Kang terdiam. Lama, sangat lama. Akhirnya, dia mengangguk. "Baiklah, Li Mei. Aku percaya padamu."
Waktu berlalu. Kami menikah, membangun keluarga, dan hidup bahagia. Kami tidak pernah melupakan masa lalu, tetapi kami juga tidak membiarkannya mendefinisikan kami. Kami memilih untuk menjalani kehidupan yang penuh cinta dan kebaikan, sebagai bentuk penghormatan pada masa lalu, dan sebagai bentuk pemberontakan terhadap takdir.
Suatu malam, saat aku sudah renta, Wei Kang berbisik di telingaku. "Lian..."
Aku tersenyum. Mungkin, di kehidupan selanjutnya, kami akan bertemu lagi. Tanpa dosa, tanpa janji, hanya...cinta.
"... sampai jumpa di bawah pohon persik yang bermekaran, cintaku..."
You Might Also Like: Skincare Terbaik Dengan Harga