Cerpen Terbaru: Bayangan Yang Menjadi Cahaya Penuntun



Bayangan yang Menjadi Cahaya Penuntun

Hujan kota. Jatuh, tak berirama, seperti notifikasi yang terus berdatangan di layar ponselku. Setiap tetesnya adalah pengingat, sebuah flashback tentang dirinya. Tentang tawa renyahnya di kedai kopi favorit kita, aroma kopi robusta yang selalu ia pesan, dan sisa chat yang tak terkirim yang tersimpan rapi di folder arsip.

Namanya, Aurora. Bagaikan fajar yang menyingkap kegelapan. Dulu.

Dulu, dia adalah cahaya. Penuntunku. Sekarang, hanya bayangan yang menari-nari di sudut ingatanku.

Kami bertemu di dunia maya, tentu saja. Aplikasi kencan yang klise. Tapi, hubungan kami jauh dari klise. Kami berbagi mimpi, ketakutan, bahkan luka yang sama. Hari-hari kami diwarnai dengan obrolan panjang hingga larut malam, emoji hati yang tak terhitung jumlahnya, dan janji-janji masa depan yang terasa begitu nyata.

Namun, tiba-tiba, Aurora menghilang. Tanpa jejak. Tanpa penjelasan. Notifikasi darinya berhenti berdering. Pesanku hanya berstatus "terkirim", tak pernah "dibaca". Seperti melayang di ruang hampa.

Kehilangan yang samar ini menggerogotiku. Ada misteri yang menggantung di udara, sebuah hubungan yang belum selesai. Setiap malam, aku memutar ulang kenangan kami, mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan. Aku mencari di setiap sudut kota yang pernah kami kunjungi, berharap menemukan secercah jawaban.

Lalu, aku menemukannya. Sebuah RAHASIA yang tersembunyi di balik foto-foto lama di laptopnya. Sebuah identitas palsu. Sebuah kebohongan yang dibangun dengan begitu rapi. Aurora bukanlah Aurora yang kukenal. Dia adalah... orang lain.

Kemarahan, kecewa, dan sakit hati bercampur menjadi satu. Tapi, di tengah badai emosi ini, aku menemukan kekuatan. Aku tidak akan tenggelam dalam kesedihan. Aku akan bangkit.

Balas dendamku? Lembut.

Aku kembali ke kedai kopi favorit kami. Memesan kopi robusta, seperti yang selalu ia lakukan. Duduk di meja yang sama, menatap hujan yang masih turun. Kemudian, aku mengirim pesan terakhir. Bukan makian, bukan cacian. Hanya sebuah foto. Foto kami berdua, saat kami masih bahagia. Di caption, kutulis:

" Selamat tinggal, Aurora. Semoga bayanganmu menemukan kedamaian. "

Kumatikan ponselku. Kuletakkan di meja. Bangkit. Berbalik. Meninggalkan semua kenangan di belakang. Senyum tipis menghiasi bibirku. Ini adalah keputusan yang menutup segalanya. Tanpa kata.

Aku melangkah pergi.

Dan dia? Mungkin selamanya akan bertanya-tanya, mengapa aku tidak membalas dendam dengan amarah…

…atau mungkin dia sudah tahu.

You Might Also Like: Fairfield Funeral Directors Image

Post a Comment

Previous Post Next Post